Tampilkan postingan dengan label Karya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karya. Tampilkan semua postingan

Cerita Mahasiswa Teknik Universitas Malikussaleh di Puncak Burni Telong

Cerita Mahasiswa Teknik Universitas Malikussaleh di Puncak Burni Telong

Pagi itu Terasa panasnya menyengat walaupun embun pagi masih membasahi pinggiran jalan Medan Banda Aceh, Pukul 08.00 Wib Starting Bergerak menuju ke kota dingin, dengan personil 18 orang melewati jalan Lintas Medan Banda Aceh.
Tepat Pukul 13.00 Wib dengan di sambut oleh cuaca khas kota dingin, yang masing bisa membuat badan terkejut akan dinginnya.
Malam itu, di sepertiga akhir bulan Februari 2016, petualangan kami di mulai. Memuai mendaki puncak gunung Burni Telong.
Terletak di Kabupaten Bener Meriah, Burni Telong adalah adalah gunung merapi setinggi 2.600 meter di atas permukaan laut (mdpl), lebih tinggi dari Gunung Seulawah yang hanya setinggi 1.800 mdpl.  Salah satu magnet yang dimiliki gunung ini adalah hamparan bunga edelweiss.
“Itu pertama kali sebagian besar kawan-kawan naik gunung dan melihat langsung bunga edelweiss yang sering disebut sebagai bunga abadi,”
untuk sampai di puncak gunung, Kami harus berjalan kaki 6 sampai 7 jam dengan rute yang kian terjal dan menanjak.
Ketika mengenang perjalanan itu sebagai perjalanan yang paling berkesan. Karena berangkat dari kaki gunung masih Pukul 13.00 Wib, Kami menginap di shelter 3 setelah 4 jam berjalan kaki. Tempat penginapan di shelter 3 itu sendiri emang tempat yang sudah di makan kabut, dan untuk menghangatkan tubuh harus mati-matian membuat api unggun suaya bisa melawan dingin yang benar-bener menusuk relung tulang kami.
Keesokan harinya, Pukul 03.00 Wib pagi-pagi buta, perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini, rutenya lebih terjal dan mendaki. Rute yang tidak pernah di bayangkan dengan suasana terjal dengan bebatuan. Harus siap-siap menempuh perjalanan yang 80 persen mendaki 2 jam untuk sampai ke puncak gunung Burni Telong.

Tiba di puncak saat Subuh, Kami bertahan di sana hingga matahari terbit. Berdiri di puncak gunung, seperti berada di dunia impian, Kota di atas Awan, hamparan kabut membekap membawa hawa dingin menusuk tulang. Bunga-bunga edelweiss yang sebelumnya hanya dilihat di film kini bisa dilihat dengan mata sendiri, walaupun masih belum bermekaran. Sayangnya, bunga itu tak boleh dipetik.
“Ada persyaratan yang diberi tahu oleh warga setempat sebelum naik, dilarang untuk memetik bunga edelweiss,”

Writer.
Sarjani,ST
Fb : Sarjanie Pasè

Twitter : Only_sarjani

kumpulan pantun karya anak melayu

kakek nenek asik makan duku,
si anak sibuk main layangan..
Aku galau di malam minggu,
bagai mana dengan smua kawan-kawan

alan jalan kepesisir 
singgah sebentar membeli lemang
kalau lah adek sudah naksir 
tinggal tunggu aba meminang

Kalaula padi tidak bersekam
tidaklah susah saya menampi

Puisi Kini Kurindu Marahmu


Setiap kali aku melangkah di pinggir sawah ini, maka sejenak otak kananku memutar sebuah memori indah bersama sang ayah.
Yah.. darinya aku mendapat sebuah pelajaran berharga untuk kehidupan ini, hidup adalah kerja keras, tak boleh ada istilah malas.

Ayah adalah sosok pekerja keras, dialah yang siang malam memeras keringat dan membanting tulang demi rizki halal untuk kebutuhan keluarga. Sebagai seorang yang jenjang pendidikannya pendek, ayah berkeinginan agar anak-anaknya kelak tidak seperti dirinya. Anak-anaknya harus berpendidikan tinggi, setinggi mungkin, agar nasib kami semua bisa jadi lebih baik.


Berbalut kesulitan hidup dan bergelut dengan pekerjaan yang berat sudah menjadi kebiasaanya, bahkan sejak kecil! Karenanya, mungkin wajar jika temperamennya sedikit keras. Lumrah, jikamkadang kelelahan yang memuncak tatkala berburu dengan waktu, mengejar musim dan menghalau hama yang bisa merusak segla harapannya, pun bisa memicu kemarahannya. Apalagi ketika aku tak mau membantu meringankan tanggungannya.

Pernah suatu hari, karena tugas dari sekolah, aku pernah tidak pulang kerumah selama 2 hari. Begitu sampai di ambang pintu rumah, kontan sang ayah pun marah padaku. Masih dalam kondisi lelah sore itu, aku pun beralasan berbagai macam keadaan. Namun entah karena ungkapanku yang kurang ajar atau memang ayah sudah tak bisa menahan diri lagi, bug..bug..bug..!! Pukulan ayah pun melayang di bagian belakang kepalaku. Aku langsung lari seraya menangis semampuku. "Ayah.. itulah momen paling manis saat kau masih ada".

Hari demi hari telah berlalu.. 5 tahun sudah terasa engkau tidur di balutan tanah yang lembut itu. Engkau tak bisa ingat lagi ribuan pekerjaan yang selalu membebani seluruh hidupmu. Lima tahun juga engkau sudah pensiun dari cangkul dan lumpur sebagai sahabat karibmu. Kini engkau tergeletak lemah tanpa bisa bersua lagi semenjak kesunyian jadi teman dekatmu.

Kini, ketika engkau tak bisa marah lagi, justru malah aku yang rindu dengan marahmu. Aku yakin, marahmu adalah sebutir kebaikan dan luapan kasih sayangmu pada sekumpulan anak-anakmu yang nakal ini. Sekarang, saat aku mengingatmu, ada cinta yang meruah, ada terimakasih yang tak mampu aku ungkapkan.

Ayah... salamku dari jauh. Karena keadaan yang memaksaku yang memaksaku tak bisa selalu menyambangimu setiap waktu. Janjiku, tak akan lupa kusertakan namamu dalam do'a pada setiap munajadku kepada Allah Ta'ala. Yakinlah, kami semua sangat bersyukur memiliki sosok ayah sepertimu. Kami semua menyayangimu, dan tentu kami sangat bangga kepadamu.


"Salam dari dua orang cucumu, Zulhakim dan Zulkiram"  

Menasah Timu, 16 Mei 2015
Muhammad Yanda Bachtiar

Muhainul_Hakim. Diberdayakan oleh Blogger.