Setiap kali aku melangkah di pinggir sawah ini, maka sejenak otak kananku memutar sebuah memori indah bersama sang ayah.
Yah..
darinya aku mendapat sebuah pelajaran berharga untuk kehidupan ini, hidup
adalah kerja keras, tak boleh ada istilah malas.
Ayah adalah sosok pekerja keras, dialah yang siang malam memeras
keringat dan membanting tulang demi rizki halal untuk kebutuhan keluarga.
Sebagai seorang yang jenjang pendidikannya pendek, ayah berkeinginan agar
anak-anaknya kelak tidak seperti dirinya. Anak-anaknya harus berpendidikan
tinggi, setinggi mungkin, agar nasib kami semua bisa jadi lebih baik.
Berbalut kesulitan hidup dan bergelut
dengan pekerjaan yang berat sudah menjadi kebiasaanya, bahkan sejak kecil!
Karenanya, mungkin wajar jika temperamennya sedikit keras. Lumrah, jikamkadang
kelelahan yang memuncak tatkala berburu dengan waktu, mengejar musim dan
menghalau hama yang bisa merusak segla harapannya, pun bisa memicu
kemarahannya. Apalagi ketika aku tak mau membantu meringankan tanggungannya.
Pernah suatu hari, karena tugas dari
sekolah, aku pernah tidak pulang kerumah selama 2 hari. Begitu sampai di ambang
pintu rumah, kontan sang ayah pun marah padaku. Masih dalam kondisi lelah sore
itu, aku pun beralasan berbagai macam keadaan. Namun entah karena ungkapanku
yang kurang ajar atau memang ayah sudah tak bisa menahan diri lagi,
bug..bug..bug..!! Pukulan ayah pun melayang di bagian belakang kepalaku. Aku
langsung lari seraya menangis semampuku. "Ayah.. itulah momen paling manis
saat kau masih ada".
Hari demi hari telah berlalu.. 5 tahun
sudah terasa engkau tidur di balutan tanah yang lembut itu. Engkau tak bisa
ingat lagi ribuan pekerjaan yang selalu membebani seluruh hidupmu. Lima tahun
juga engkau sudah pensiun dari cangkul dan lumpur sebagai sahabat karibmu. Kini
engkau tergeletak lemah tanpa bisa bersua lagi semenjak kesunyian jadi teman
dekatmu.
Kini, ketika engkau tak bisa marah
lagi, justru malah aku yang rindu dengan marahmu. Aku yakin, marahmu adalah
sebutir kebaikan dan luapan kasih sayangmu pada sekumpulan anak-anakmu yang
nakal ini. Sekarang, saat aku mengingatmu, ada cinta yang meruah, ada
terimakasih yang tak mampu aku ungkapkan.
Ayah... salamku dari jauh. Karena
keadaan yang memaksaku yang memaksaku tak bisa selalu menyambangimu setiap
waktu. Janjiku, tak akan lupa kusertakan namamu dalam do'a pada setiap
munajadku kepada Allah Ta'ala. Yakinlah, kami semua sangat bersyukur memiliki
sosok ayah sepertimu. Kami semua menyayangimu, dan tentu kami sangat bangga
kepadamu.
"Salam dari dua orang cucumu,
Zulhakim dan Zulkiram"
Menasah Timu, 16 Mei 2015
Muhammad Yanda Bachtiar